Langsung ke konten utama
Orang Asing

Bagian 1
Sudah beberapa hari ini ada seseorang yang selalu aku khawatirkan. Menyesakkan dadaku setiap melihat tawa yang dikeluarkan. Terasa begitu pilu rasanya. Tawanya bukan bahagia, namun tawa duka cita. Tak serenyah sebelumnya. Tak sebahagia yang biasa aku lihat. Aku prihatin disetiap langkah yang mulai limbung menjelang senja dan matanya sembab tatkala pagi menjelang. Ketika kau bertanya apakah ada laki-laki yang menangis? Akan kujawab padamu dengan keras dan lantang, ada. Sungguh laki-laki menangis bukanlah mitos pada kisah percintaan dalam dongeng putri tidur karena ditinggal sang kekasih. Laki-laki menangis memanglah ada, bukan mitos tapi fakta yang nyata. Hanya saja, tangisnya diam. Tak ada isak, tak ada raungan menjerit, tak ada gelas dan piring yang dipecahkan, yang ada hanyalah terdiam dengan pandangan kosong dan secangkir kopi yang selalu dingin tak pernah disentuhnya.
“Sudahlah mas, nyatanya dia juga tak menginginkan untuk bersamamu. Jadi apa yang kau harapkan darinya?”
“Dik, apa yang kamu tahu tentang dirinya hingga kamu mengatakan demikian?” kata laki-laki berkumis tipis dengan sangat santai sambil menatapku lembut. Berharap aku sedikit tenang dan mengakhiri semua perdebatan ini dengan baik-baik saja.
“Aku tahu semuanya mas. Semuanya !!” aku memaki “Dia wanita jahat yang mempermainkan laki-laki” suaraku mulai mengeras “Bagaimana bisa seorang wanita menyuguhkan hati untuk semua laki-laki yang mengetuk pintu hatinya ? Kenapa dia menyuguhkan hati untukmu! Melambungkanmu jauh keangkasa. Dan tiba-tiba dia mengatakan bahwa hatinya bukan untukmu !” kataku kemudian.
Laki-laki itu terdiam cukup lama. Mengambil cangkir dan membuat dua cangkir kopi dengan sangat santai. Tak menjawabku cukup lama dan duduk dikursi sambil menghirup kopi itu dengan pelan.
“Dia tidak salah dik. Aku yang salah” katanya sangat lirih. Sesekali menengok rintik hujan lewat jendela diruang tamu yang mulai terasa dingin dan membeku.
 “Bagaimana bisa kamu mengatakan kamu yang salah ?”
“ Kamu lucu sekali pagi ini dik. Nyatanya aku memang yang salah!” katanya menertawakan sikapku pagi buta seperti ini.
“Hatimu itu terbuat dari apa si mas. Baja yang tahan banting?” aku berujar keras sambil duduk persis dihadapannya yang hanya berjarak dua buah cangkir berisi kopi hitam yang masih hangat.
“Hatiku terbuat dari sutra haha” katanya tertawa kecut. Aku muak dengan jawabannya yang palsu.
“Kamu laki-laki mas. Tak bisa harga dirimu dijatuhkan seperti ini. Kamu tak salah. Dia yang salah menyuguhkan hatinya!!” aku masih menjawab dengan suara yang lantang. Tak setuju dengan sikapnya yang selalu merasa tabah atas perlakuan wanita yang sedang kami bicarakan.
“Sebagai wanita harusnya kamu mengerti. Ada hati lain yang menyinggahi dia terlebih dahulu. Dan mas mu ini, tiba-tiba masuk tanpa permisi. Tanpa tahu bahwa tak ada ruang kosong yang pantas diisi” dia menghela napas panjang. Sangat panjang hingga hembusannya terdengar menjerit dan tak kuat menahan lara
“Aku wanita. Tapi aku tak pernah begitu pada laki-laki. Nyatanya hubunganku dengan semua teman laki-laki biasa saja. Tak ada penghianatan sama sekali!”
“Kamu belum merasakan saja. “ jawabnya sambil menyeruput kopi yang mulai dingin. Menghirup udara panjang yang terasa menyesakkan dada.
“Belum merasakan bagaimana? Aku juga pernah menjalin sebuah hubungan. Dan itu tak sebodoh yang kamu lakukan sekarang”
 “Ada saatnya kamu melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan padaku” ada rembesan yang secepat kilat dia seka dan berubah menjadi udara.
“Tapi kamu terlalu bodoh untuk dikatakan sebagai laki-laki mas!” dia seolah tak mendengarku. Acuh.
“Sesekali kamu harus menanyakan pada seseorang yang datang padamu kelak. Dia akan singgah atau sejenak mampir dan pergi. Hingga kau tak perlu repot memikirkan apa yang hendak kau suguhi. Secangkir kopi atau seluruh isi hati ” jawabnya sambil berlalu meninggalkan serpihan luka yang ditinggalkan bersama ampas kopi pagi ini.
“Mas !!” panggilku mengejarnya agar tak meninggalkan percakapan kali ini. Dia berlalu begitu saja. Tak menghiraukan panggilan dariku.
Hening. Aku masih duduk termangu mengacak-acak rambutku sendiri, yang bodoh memandanginya pergi berlalu meninggalkan ruang tamu begitu saja. Mengambil payung dan berjalan menembus hujan melawati jalan setapak dan hilang bersama kabut. Bersama kenangan dan luka baru yang basah menganga. Aku menjerit namun semuanya hampa. Seperti ruang kosong. Hanya aku yang mendengar suara jerit yang aku lakukan. Seperti orang bodoh yang terlalu memusingkan urusan orang lain.

Komentar